widgets
widgeo.net
My Point Blank Slideshow: ابي’s trip to Bandung, Java, Indonesia was created by TripAdvisor. See another Bandung slideshow. Create your own stunning slideshow with our free photo slideshow maker.
widget

Rabu, 02 Maret 2011

SEjaRah ManBail Futuh

SEJARAH MANBAIL FUTUH





RISALAH PENDIRIAN PONDOK
Inilah pondok yang menjadi cikal bakal berdirinya kajian-kajian keislaman, maupun pendirian-pendirian TPA di kecamatan jenu Tuban. Pondok ini, sejak awal memang didirikan untuk memberikan pengajaran Al-Qur’an kepada masyarakat setempat. Agar mereka menjadi Pioner dalam mengenalkan dan mengajarkan agama islam.
Pondok Pesantren Manbail Futuh namanya. Terletak di Desa Beji Kecamatan Jenu Kabupaten Tuban Jawa Timur. Tepat di belakang Masjid Baiturrahman Beji Jenu Tuban. Pondok tertua di kecamatan Jenu, yang tumbuh dan berkembang, berawal dari niat mengenalkan agama Islam kepada masyarakat sekitar.

Pondok ini, berdiri sejak 1925, sejak masa kolonial Belanda. Sayang, tak ada catatan tertulis perihal perjuangan dan dinamika pondok pada masa kolonial itu. Adanya, hanya awal pendirian pondok ini yang berasal dari perbincangan dengan santri dan pengasuh pondok ini tentang awal mula terbangunnya pondok ini.

Awalnya, KH Fathurrohman, anak tunggal dari Bapak Abu Said, petani sekaligus pedagang kaya di Jenu, mondok di Pondok Langitan Tuban, tanpa minta izin orang tuanya. Alasannya, kalau Ijin, takut tidak diperbolehkan. Karena tradisi yang berkembang di masyarakat ketika itu, anak tunggal harus di rumah untuk menunggu dan mewarisi tradisi orang tua.

Setelah orang tua Mbah nyai tahu akan keberadaannya, Abu Said pun menyuruhnya pulang, “Kulo mboten bade mantuk, lek mboten didamele pondok (saya tidak akan pulang, kalau tidak dibangunkan pondok)”. Begitu Jawab Kyai Fathur ketika itu. Pak Said, Ayahnya, yang saat itu menjadi petani dengan lahan yang luas dan kaya raya pun mengabulkan keinginan anaknya tersebut. Maklum, jauh sebelumnya, Abu Said, terkenal dengan kebiasannya membuatkan Musholla, bagi penduduk di sekitarnya.

Kecintaan Kyai Fathurrohman pada pendidikan agama, mulai memberikan suasana tersendiri di Jenu. Jenu, yang saat itu, masih belum ada pondok pesantren pun mulai ramai dengan pengajian. Saat itu, bangunannya tentu masih sederhana, dengan bangunan-bangunan yang berasal dari kayu. Orang-orang dari berbagai desapun dating ke Beji, dari desa-desa yang terdekat seperti Kaliuntu, sampai yang jauh, seperti desa Karangasem.

Kyai Fathurrohman pun mulai mengajar membaca Al-Quran anak-anak lelaki, sedangkan istri beliau, Bu Nyai Masithoh mengajar anak-anak perempuan. Tanpa diminta, anak-anak perempuan itu tidak mau pulang ke rumah. Maklum, ketika itu, belum banyak merekapun membantu ibu Masithoh dan tinggal di rumahnya, sambil belajar mengaji kitab sulam taufiq dan terutama mengaji Al-Quran. Begitupun dengan lelaki. Lama kelamaan santri ini menetap dan pondok yang awalnya hanya dibangun untuk lelakipun, beberapa tahun kemudian mendirikan untuk perempuan.

Kehidupan anak pondok ketika itu, masih sangat sederhana. Mereka memang berniat untuk dapat membaca al-Qur’an serta mempelajari bahasa arab. Sehingga, para santripun datang dan pergi sesuai dengan keinginan dan kemampuan mereka. Jika merasa telah dapat membaca Al-Qur’an merekapun akan pamit pulang.

Perkembangan dunia pendidikan formal, membuat pengasuh Pondok Manbail Futuh pun mulai mendirikan madrasah Ibtidaiyah. Tercatat dalam majalah RISMA (Risalah Manbail Futuh) yang terbit pada tahun 1983 , pada tahun 1947 mulai didirikan Madrasah Ibtidaiyah Banin. Tiga Tahun kemudian didirikanlah pendidikan formal berupa Ibtidaiyah Banat, yang menjadi cikal bakal pendidikan formal dilingkungan pondok.

Proses pembuatan pendidikan formal semakin diperluas, demi memberikan jaminan kepada generasi anak-anak pondok, untuk mengambil hal yang baik dari perkembangan zaman. Karena itu, pada tahun 1960 berdirilah madrasah tsanawiyah. Ada kisah menarik yang dituturkan dalam Risma tentang pendirian sekolah tsanawiyah ini.

Karena belum memiliki gedung, sekolah tsanawiyah pada saat itu, harus berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Hingga ada penduduk yang tertarik ada penduduk yang tertarik untuk membuat sekolah tsanawiyah dan diambillah murid pondok Manbail Futuh. Namun, hal itu tidak mematahkan Mbah Nyai Fathur untuk mendirikan Tsanawiyah. Karena itu, ia memulai lagi dari awal.




MANBAIL FUTUH KINI
Siang, di tengah terik matahari yang menyengat, anak-anak dari Desa Merkawang, Karangasem, Boro, Merakurak mulai berjejer-jejer di jalan raya menunggu kedatangan angkutan umum. Mereka adalah siswi-siswi Aliyah dan Tsanawiyah Manbail Futuh.

Sejak didirikan, Madrasah Manbail Futuh, baik dari tingkat MTS maupun Aliyah, begitu banyak murid yang mendaftar, sehingga harus bergantian antara siswa perempuan dan lelaki. Lelaki masuk pada pagi hari, pukul 07.30-12.30 WIB. Sedangkan perempuan pada pukul 13:00- 17:00 WIB. Saat ini, tercatat lebih dari 2.000 santri yang sekolah formal. Sedangkan yang mondok, terdapat sekira 500 orang. Pergantian masuk bagi siswa-siswi ini karena belum adanya ruang di tempat ini. Banyaknya murid tak seimbang dengan ruangan kelas yang begitu terbatas.

Madrasah Formal terdiri dari TK, hingga tingkat aliyah, putra dan putri. Rata-rata satu tingkat memiliki 3 kelas. Sedangkan untuk pondok-pondok, tergantung pada pilihan santri.

Jumlah santri yang begitu banyak, menjadikan pondok pesantren Manbail Futuh yang dulu hanya diasuh oleh Mbah Kyai Fathurrahman, sekarang harus diasuh oleh anak-anak cucunya. Karena itu, pengasuh pondok inipun, saat ini, adalah KH.Muslich Abdurrahim, KH.Fathurrahman Mizan, KH. Muhidin Romli, K. Zaenal Arifin serta KH. Son Haji Abdil Hadi. Lokasi pondokpun tidak disatukan, terpencar kecil-kecil, hal ini untuk menyiasati agar anak-anak pondok lebih terurus dan berintegrasi dengan penduduk.

Pembelajaran kitab fiqih dan tafsir menjadi kajian utama di pondok ini. Ini bisa dilihat dari kitab yang diajarkan. Seperti: Kitab tafsir Jalalain, Fath al-Qarib, Mabadi' al-Fiqhiyah, Safinah an-Najah, Sullam Safinah. Kemudian diajarkan juga Qawa'id al-Fiqhiyah. Alasannya, karena mendesaknya kebutuhan umat Islam dalam Al-Qur’an dan fiqih, yang akan digunakan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Setidaknya, jika mereka tidak menjadi tokoh di masyarakat, ilmu ini bisa digunakannya sendiri.

Meskipun saat ini pondok pesantren telah memiliki santri dari luar Jenu, seperti dari Irian Jaya, Jakarta, Sumatera, Bali. Namun, pondok pesantren ini tetap memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi penduduk sekitar untuk mengikuti pengajian. Tidak ada benteng yang membatasi antara pondok dengan rumah penduduk, sehingga kapanpun penduduk dapat dengan leluasa untuk mengikuti pengajian-pengajian yang diadakan di pondok.

Memang diakui oleh pengasuh pondok, bahwa euphoria penduduk sekitar untuk mengikuti pengajian tidak seperti dulu. Meskipun begitu, setiap pagi, bagi perempuan diadakan pengajian diniyah dan sore untuk lelaki, dan diikuti oleh penduduk sekitar. Penetapan jadwal diniyah menyesuaikan dengan jam-jam sekolah. Sedangkan untuk ibu-ibu yang jauh dari lokasi pondok, biasanya setiap jumat sore pengajian bersama di masjid.

Keinginan untuk menyatukan dan membuat komunikasi antara penduduk sekitar dengan anak-anak pondokpun selalu diadakan. “Karena ekslusifitas hanya akan menciptakan manusia yang tidak membumi” Kata Ibu Ita, salah satu guru Tajwid di pondok ini.

Dalam mencetak generasi yang tangguh, selain memberikan pengajaran yang terus menerus kepada para santri. Pondok ini juga memiliki tekad yang kuat, agar santri menjadi inisiator dari pengajaran keagamaan di tempat tinggalnya nantinya.

Kemandirian dalam berbagaihal pun diajarkan di pondok ini. Misalnya, kemandirian untuk mengurus diri sendiri, dengan tidak ada pembedaan bagi mereka yang kaya maupun yang miskin, sehingga mereka setiap hari harus bertanggung jawab untuk mengurusi diri sendiri. Dari hal-hal yang setiap hari dikerjakan, seperti mencuci baju, menyetrika dan mengatur jadwal sendiri. Bahkan, hingga saat ini, pondok ini masih mempertahankan agar santri memasak sendiri, baik lelaki maupun perempuan.

Oleh karena itu, Alumni pondok ini, setelah selesai belajar di pesantren. Biasanya, mereka mendirikan TPA atau mendirikan madrasah atau tsanawiyah di desanya. Terbukti alumni-alumni pondok maupun yang sekolah di tempat ini, mereka menjadi penggerak kajian maupun keagamaan di masyarakat sekitar. Ana Misalnya, usai tamat sekolah aliyah, ia pulang ke rumahnya Desa Boro, kemudian mengajar mengaji, dan kini bersama suaminya ia berencana mendirikan sekolah formal yang berbasis agama.dan ketika tahunpelajaran 2009 - 2010 SMK di Ponpes Manbail Futuh yang termasukdari cabang dari SMKN 1 tuban.......dan rencananya... Manbailfutuh sekarangjuga akanmendirikan pErguruan tinggi yangtermasuk dari cabang STITMA tuban,, yang insya' Allah proses pembelajarannya akan dimulai November ini.........

DO'AKAN SAJA SEMOGA MANBAIL FUTUH SUKSES......... AMIIIN.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar